Senin, 24 Oktober 2011

KHALAF


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur Al Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal Jamaah kadang-kadang disebut sebagai Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asya’irah dikaitkan dengan ulama besarnya yang pertama yaitu Abu Hassan Ali Asy’ari.
Sejarah ringkas ulama besar ini adalah: Nama lengkap beliau adalah Abu Hasan Ali bin Ismail bin Abi Basyar bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al Asy’ari. Abi Musa ini adalah seorang sahabat Nabi yang terkenal dalam sejarah Islam. Abu Hassan lahir di Basrah, Iraq pada tahun 260H yakni 55 tahun sesudah meninggalnya Imam As Syafie dan meninggal di Basrah juga pada tahun 324H dalam usia 64 tahun. Beliau pada mulanya adalah murid daripada bapa tirinya seorang ulama besar kaum Muktazilah, Syeikh Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al Jabai, tetapi kemudian beliau bertaubat dan keluar daripada golongan Muktazilah itu.
Pada masa itu, banyak sekali ulama Muktazilah mengajar di Basrah, Kufah dan Baghdad. Ada 3 orang Khalifah Abbasiyah yaitu Malmun bin Harun Ar Rasyid, Al Muktasim dan Al Watsiq adalah khalifah-khalifah penganut fahaman Muktazilah atau sekurang-kurangnya penyokong utama daripada golongan Muktazilah.
Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang dinamakan fitnah ”Al-Quran Makhluk” yang mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefahaman dengan kaum Muktazilah. Pada masa Abu Hassan Al Asy’ari muda remaja, ulama-ulama Muktazilah sangat banyak di Basrah,Kufah danBaghdad. Masa itu zaman gilang gemilang bagi mereka, karena fahamannya disokong oleh pemerintah.

B.     RUMUSAN MASALAH
 Sesuai dengan pokok masalah yang dibicarakan tentang,“Aliran Al-Khalaf” maka rumusan masalah ini difokuskan pada :
1.       Apa  Al-Khalaf itu ?
2.       Dua ulama besar yang menjadi tokoh Aliran Khalaf.
3.       Apa saja doktrin-doktrin teologi dari kedua ulama besar tersebut.


C.     TUJUAN
 Tujuan merupakan arah terakhir dari suatu kegiatan, tanpa tujuan yang telah ditentukan sebelumnya makalah ini tidak akan sampai pada tujuan. Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah :
1.       Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
2.       Dengan mempelajari Aliran Al-Khalaf sehingga kita mengerti dan memahami Missi dari aliran tersebut.



BAB II
KHALAF : AHLUSSUNNAH (L-ASY’ARY DAN AL-MATURIDI)

Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf, diantaranya dengan penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.
Adapun ungkapan Ahlussunnah (sering disebut juga Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Sunni dalam pengertian khusus adalah madzhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Pengertian kedua inilah yang dipakai dalam pembahasan ini.
Selanjutnya, term Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya Aliran Asy ‘ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu‘tazilah, Harun Nasution - dengan meminjam keterangan Tasy Kubra Zadah - menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sekitar tahun 300H.

A.     AL-ASY’ARI
1.       Riwayat Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari  adalah Abu Al.Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim  bin Isma’il Abin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-ari. Menurut Beberapa riwayat. Al- Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun , ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324/935 M.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah mesjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAAW. Sebanyak tiga kali, yaitu malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadahan.dalam mimpinya itu, Rasulullah memperingatkan agar meninggalkan faham mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.

2.       Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy’ari
Formulasi pemikiran Al-Asy’ari secara esensial menampilkan sebuah uapaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain.
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah berikut ini :
a.       Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Si satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antropomorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Quran dan sunnah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain pihak, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
b.       Kebebasan Dalam Berkehendak (Free – Will)
Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariyah yang fatalstik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta(khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri mengupayakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c.       Akal dan Wahyu dan kriteria baik dan Buruk
Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamkan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.
d.       Qadimnya Al-Qur’an
Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zabariyah yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah kalam Allah, (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Quran adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi. Semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Quran bagi Al-Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengana ayat.
JRÎ) $uZä9öqs% >äóÓy´Ï9 !#sŒÎ) çm»tR÷Šur& br& tAqà)¯R ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù ÇÍÉÈ
“Sesungguhnya perkataan kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami Hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.”  (Q.S. An-Nahl [16] : 40)
e.       Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodok ekstrim, terutama Zahiriyahm yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia auntuk melihat-Nya.
f.        Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari versi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
g.       Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kurf, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik. Sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.

B.     AL-MATURIDI
1.       Riwayat Singkat Al-Maturidi
Abu manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Al-maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274 / 847-861 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Quran, Makhaz Asy-Syara’i, Al-Jadl, uShul Fi Ushul Ad-Din, Maqalat fi al-Ahkam Radd Awa’il Al-Abdillah li Al-Ka’bi, dan masih banyak lagi.

2.       Doktrin-doktrin Teologi Almaturidi
a.       Akal dan Wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dana akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan oleh Al-Asy’ari.
Menurut Al-maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiaran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan anatara yang baik dan buruk, namun terkadang pula mampu mengetahu sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagi pembimbing.
Al-maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu ;
1.       Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2.       Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;
3.       Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
b.       Perbuatan manusia
Menurut Al-maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Dalam hal ini Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagi perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagi pencipta perbuatan manusia. Tuhan mencipatakn (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan  antara qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pad manusia. Kemuadian karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakaukan adalah perbutan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia. Berbeda dengan Al-Maturidi, Aly’ari mengatakan bahwa perbutan manusia adlah perbutan Tuhan. Berbeda pula dengan
Mu’tajilah yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.
                Dalam masalah pemakaian daya ini, Al-Maturidi membawa faham Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehenadak Tuhan, tetapi ia dapat memilih yang ridai-Nya Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuata buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya. Dengan demikian, berarti manusia dalam faham Al-Maturidi tidak sebebas Manusia dalam faham Mu’tazilah.
c.        Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
              Telah di uraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan beparti Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak –Nya semata. Hal ini karena qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetap perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikamh dan keadilan yang sudah ditetapakan-Nya sendiri.
d.        Sifat Tuhan
          Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dan Al-Asy’ari. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama, bshar, dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ar . Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-Mturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagi suatu esensi-Nya dan bukan pulas esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama, baca : inheren) dzat tanpa terpisah (annaha lam takun ain ad-dzat wa la hiya ghairuhu). Mentapkan sifat bagi Allah tidak harus membawanya pada pengertian anthropomorphisme karena sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada berbilangnya yang qadim (taaddud al-qudama).
Tampaknya faham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaan terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
e.       Melihat Tuhan
Al-maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-Qur’an, antara lain dalam firman Allah q s Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
22.  Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
23.  Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.

Al-maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelas di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelas di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
f.        Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca : sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan A-Quran dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan suatu perantara.
g.       Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan dan tidak ada yang memaksa atau membatasi jkehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendri. Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib berbuat Ash-shalah wa al-shalah (yang baik dan terbaik bagi manusia).setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain :
1.       Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
2.       Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tututan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
h.       Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainya dari syariat yang dibeban kepada manusia. Oelh karena itu, menurut Al-Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi pengutusan Rasul berfungsi sebagi sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.
i.         Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalh balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain Syirik) tidaklah menajdikan seseorang kafir dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oelh karena itu amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah aatu mengurangi esensi iamn, kecuali hanya menambah atau megurangi sifatnya saja.

 
      
  



                                               

                         


BAB III
KESIMPULAN
Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf, diantaranya dengan penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.
Adapun ungkapan Ahlussunnah (sering disebut juga Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Sunni dalam pengertian khusus adalah madzhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Pengertian kedua inilah yang dipakai dalam pembahasan ini.
Selanjutnya, term Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya Aliran Asy ‘ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu‘tazilah,
Nama lengkap Al-Asy’ari  adalah Abu Al.Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim  bin Isma’il Abin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-ari. Menurut Beberapa riwayat. Al- Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun , ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324/935 M. Adapun doktrin-doktrin teologi Al-Asy’ari adalah Tuhan dan sifat-sifatnya, Kebebasan dalam berkehendak (Free – Will), akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk, Qadimnya Al-Quran, Melihat Allah, Keadilan, dan kedudukan orang berdosa.
Abu manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Al-maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274 / 847-861 M. Adapun doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi adalah akal dan wahyu, perbuatan manusia, kekuasaan dn kehendak mutlak Tuhan, sifat Tuhan, melihat Tuhan, kalam Tuhan, perbuatan manusia, pengutusan Rasul, dan Pelaku Dosa Besar (Muntakib Al-Kabir).