PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai
reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H timbullah golongan
yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh 2 orang ulama
besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari dan Syeikh Abu
Mansur Al Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal Jamaah kadang-kadang disebut
sebagai Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau
Asya’irah dikaitkan dengan ulama besarnya yang pertama yaitu Abu Hassan Ali Asy’ari.
Sejarah
ringkas ulama besar ini adalah: Nama lengkap beliau adalah Abu Hasan Ali bin
Ismail bin Abi Basyar bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin
Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al Asy’ari. Abi Musa ini adalah seorang
sahabat Nabi yang terkenal dalam sejarah Islam. Abu Hassan lahir di Basrah,
Iraq pada tahun 260H yakni 55 tahun sesudah meninggalnya Imam As Syafie dan
meninggal di Basrah juga pada tahun 324H dalam usia 64 tahun. Beliau pada
mulanya adalah murid daripada bapa tirinya seorang ulama besar kaum Muktazilah,
Syeikh Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al Jabai, tetapi kemudian beliau
bertaubat dan keluar daripada golongan Muktazilah itu.
Pada masa
itu, banyak sekali ulama Muktazilah mengajar di Basrah, Kufah dan Baghdad.
Ada 3 orang Khalifah Abbasiyah yaitu Malmun bin Harun Ar Rasyid, Al Muktasim
dan Al Watsiq adalah khalifah-khalifah penganut fahaman Muktazilah atau
sekurang-kurangnya penyokong utama daripada golongan Muktazilah.
Dalam
sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang dinamakan
fitnah ”Al-Quran Makhluk” yang mengorbankan beribu-ribu ulama
yang tidak sefahaman dengan kaum Muktazilah. Pada masa Abu Hassan Al Asy’ari
muda remaja, ulama-ulama Muktazilah sangat banyak di Basrah,Kufah danBaghdad.
Masa itu zaman gilang gemilang bagi mereka, karena fahamannya disokong oleh
pemerintah.
B.
RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan pokok masalah yang dibicarakan
tentang,“Aliran Al-Khalaf” maka rumusan masalah ini
difokuskan pada :
1. Apa Al-Khalaf itu ?
2. Dua ulama besar yang menjadi tokoh Aliran Khalaf.
3. Apa saja doktrin-doktrin teologi dari kedua ulama
besar tersebut.
C.
TUJUAN
Tujuan merupakan arah terakhir dari suatu kegiatan,
tanpa tujuan yang telah ditentukan sebelumnya makalah ini tidak akan sampai
pada tujuan. Adapun tujuan penyusunan
makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
2. Dengan mempelajari Aliran Al-Khalaf sehingga kita mengerti dan memahami Missi dari aliran
tersebut.
BAB
II
KHALAF
: AHLUSSUNNAH (L-ASY’ARY DAN AL-MATURIDI)
Kata khalaf
biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H
dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf,
diantaranya dengan penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan
makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.
Adapun ungkapan
Ahlussunnah (sering disebut juga Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian,
yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok
Syi’ah. Sunni dalam pengertian khusus adalah madzhab yang berada dalam barisan
Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Pengertian kedua inilah yang dipakai
dalam pembahasan ini.
Selanjutnya, term
Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya Aliran Asy ‘ariyah dan Maturidiyah,
dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu‘tazilah, Harun Nasution - dengan
meminjam keterangan Tasy Kubra Zadah - menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah
muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sekitar tahun 300H.
A. AL-ASY’ARI
1.
Riwayat Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap
Al-Asy’ari adalah Abu Al.Hasan Ali bin
Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il
Abin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-ari. Menurut
Beberapa riwayat. Al- Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika
berusia lebih dari 40 tahun , ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada
tahun 324/935 M.
Al-Asy’ari menganut
faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara
tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah mesjid Bashrah bahwa dirinya telah
meninggalkan faham mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut
Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah
adalah pengakuan Al-asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAAW.
Sebanyak tiga kali, yaitu malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadahan.dalam
mimpinya itu, Rasulullah memperingatkan agar meninggalkan faham mu’tazilah dan
membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.
2.
Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy’ari
Formulasi pemikiran Al-Asy’ari secara
esensial menampilkan sebuah uapaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim
di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain.
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang
terpenting adalah berikut ini :
a.
Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
Perbedaan pendapat di kalangan
mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka
setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua
pandangan ekstrim. Si satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah
(antropomorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai
semua sifat yang disebutkan dalam Al-Quran dan sunnah dan sifat-sifat itu harus
dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain pihak, ia berhadapan dengan kelompok
Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain
esensi-nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh
diartikan secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
b.
Kebebasan Dalam Berkehendak (Free –
Will)
Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni
Jabariyah yang fatalstik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan
mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia
menciptakan perbuatannya sendiri, Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb.
Menurutnya Allah adalah pencipta(khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia
sendiri mengupayakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c.
Akal dan Wahyu dan kriteria baik dan
Buruk
Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang
Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi
persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu.
Al-Asy’ari mengutamkan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.dalam
menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari
berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan
Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.
d.
Qadimnya Al-Qur’an
Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an
diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zabariyah
yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah kalam Allah, (yang qadim dan tidak
diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi
Al-Quran adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling
bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri atas
kata-kata, huruf dan bunyi. Semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan
karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Quran bagi Al-Asy’ari
tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengana ayat.
JRÎ) $uZä9öqs%
>äóÓy´Ï9 !#sÎ) çm»tR÷ur&
br&
tAqà)¯R
¼çms9
`ä.
ãbqä3usù
ÇÍÉÈ
“Sesungguhnya
perkataan kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami Hanya
mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.” (Q.S. An-Nahl [16] : 40)
e.
Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan
kelompok ortodok ekstrim, terutama Zahiriyahm yang menyatakan bahwa Allah dapat
dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu,
ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat
Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat,
tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah
sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan
penglihatan manusia auntuk melihat-Nya.
f.
Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan
Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang
makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan
Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi
pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki
keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian, jelaslah
bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari versi manusia yang memiliki dirinya,
sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
g.
Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi
menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan
kurf, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak
mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang
berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik. Sebab iman tidak mungkin hilang
karena dosa selain kufur.
B. AL-MATURIDI
1. Riwayat
Singkat Al-Maturidi
Abu manshur
Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand,
wilayah Trmsoxiana di Asia tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan.
Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar
pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam
bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-balakhi. Ia wafat pada
tahun 268 H. Al-maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah
tahun 232-274 / 847-861 M.
Karir pendidikan
Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada
fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham
teologi yang banyak berkembang pada masyarakat islam, yang dipandangnya tidak
sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya
banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah kitab Tauhid,
Ta’wil Al-Quran, Makhaz Asy-Syara’i, Al-Jadl, uShul Fi Ushul Ad-Din, Maqalat fi
al-Ahkam Radd Awa’il Al-Abdillah li Al-Ka’bi, dan masih banyak lagi.
2. Doktrin-doktrin
Teologi Almaturidi
a. Akal
dan Wahyu
Dalam
pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dana akal. Dalam
hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Namun porsi yang diberikannya kepada akal
lebih besar dari pada yang diberikan oleh Al-Asy’ari.
Menurut
Al-maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui
dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan
ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha
memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan
pemikiaran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak
mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan
memerintahkan manusia untuk melakukannya.
Dalam
masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya
sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan
syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu.
Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan anatara yang baik dan
buruk, namun terkadang pula mampu mengetahu sebagian baik dan buruknya sesuatu.
Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagi pembimbing.
Al-maturidi
membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu ;
1.
Akal dengan sendirinya hanya
mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2.
Akal dengan sendirinya hanya
mengetahui keburukan sesuatu itu;
3.
Akal tidak mengetahui kebaikan dan
keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
b. Perbuatan
manusia
Menurut
Al-maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam
wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan
dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat
(ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat
dilaksanakannya. Dalam hal ini Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagi
perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagi pencipta perbuatan manusia. Tuhan
mencipatakn (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya
tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak
ada pertentangan antara qudrat Tuhan
yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pad manusia. Kemuadian
karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakaukan adalah
perbutan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga
daya manusia. Berbeda dengan Al-Maturidi, Aly’ari mengatakan bahwa perbutan
manusia adlah perbutan Tuhan. Berbeda pula dengan
Mu’tajilah
yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu
sendiri.
Dalam masalah pemakaian daya
ini, Al-Maturidi membawa faham Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan
ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk
tetap berada dalam kehenadak Tuhan, tetapi ia dapat memilih yang ridai-Nya
Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuata buruk juga
atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya. Dengan demikian, berarti
manusia dalam faham Al-Maturidi tidak sebebas Manusia dalam faham Mu’tazilah.
c. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Telah di uraikan di atas bahwa
perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk
adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan
beparti Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak
–Nya semata. Hal ini karena qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetap
perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikamh dan keadilan
yang sudah ditetapakan-Nya sendiri.
d. Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan,
terdapat persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dan Al-Asy’ari. Keduanya
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama, bshar, dan
sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda
dengan Al-Asy’ar . Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang
bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-Mturidi
berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagi suatu esensi-Nya dan bukan
pulas esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama, baca : inheren)
dzat tanpa terpisah (annaha lam takun ain ad-dzat wa la hiya ghairuhu).
Mentapkan sifat bagi Allah tidak harus membawanya pada pengertian
anthropomorphisme karena sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya
sifat tidak akan membawa kepada berbilangnya yang qadim (taaddud al-qudama).
Tampaknya
faham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati faham
Mu’tazilah. Perbedaan terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya
sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
e. Melihat
Tuhan
Al-maturidi
mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh
Al-Qur’an, antara lain dalam firman Allah q s Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
22. Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
23. Kepada
Tuhannyalah mereka Melihat.
Al-maturidi
lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelas di akhirat dapat dilihat dengan mata,
karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelas
di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akhirat tidak
sama dengan keadaan di dunia.
f.
Kalam Tuhan
Al-Maturidi
membedakan antara kalam (baca : sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara
dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi
adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan A-Quran dalam arti kalam yang tersusun
dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita
ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak
dapat kita ketahui, kecuali dengan suatu perantara.
g. Perbuatan
manusia
Menurut
Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya
atas kehendak Tuhan dan tidak ada yang memaksa atau membatasi jkehendak Tuhan,
kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya
sendri. Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib berbuat Ash-shalah wa al-shalah
(yang baik dan terbaik bagi manusia).setiap perbuatan Tuhan yang bersifat
mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas
dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut
antara lain :
1.
Tuhan tidak akan membebankan
kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut
tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi kemerdekaan oleh Tuhan
dalam kemampuan dan perbuatannya.
2.
Hukuman atau ancaman dan janji terjadi
karena merupakan tututan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
h. Pengutusan
Rasul
Akal
tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang yang dibebankan kepada manusia,
seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainya dari syariat
yang dibeban kepada manusia. Oelh karena itu, menurut Al-Maturidi, akal
memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban
tersebut. Jadi pengutusan Rasul berfungsi sebagi sumber informasi. Tanpa
mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah membebankan
sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.
i.
Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi
berpendapat bahwa yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam
neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah
menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Kekal di dalam neraka adalh balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik.
Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan
pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain
Syirik) tidaklah menajdikan seseorang kafir dan iqrar, sedangkan amal adalah
penyempurnaan iman. Oelh karena itu amal tidak akan menambah atau mengurangi
esensi iman, kecuali hanya menambah aatu mengurangi esensi iamn, kecuali hanya
menambah atau megurangi sifatnya saja.
BAB
III
KESIMPULAN
Kata khalaf
biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H
dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf,
diantaranya dengan penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan
makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.
Adapun ungkapan
Ahlussunnah (sering disebut juga Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian,
yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok
Syi’ah. Sunni dalam pengertian khusus adalah madzhab yang berada dalam barisan
Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Pengertian kedua inilah yang dipakai
dalam pembahasan ini.
Selanjutnya, term Ahlussunnah banyak
dipakai setelah munculnya Aliran Asy ‘ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang
menentang ajaran-ajaran Mu‘tazilah,
Nama lengkap
Al-Asy’ari adalah Abu Al.Hasan Ali bin
Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il
Abin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-ari. Menurut
Beberapa riwayat. Al- Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika berusia
lebih dari 40 tahun , ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun
324/935 M. Adapun doktrin-doktrin teologi Al-Asy’ari adalah Tuhan dan
sifat-sifatnya, Kebebasan dalam berkehendak (Free – Will), akal dan wahyu dan
kriteria baik dan buruk, Qadimnya Al-Quran, Melihat Allah, Keadilan, dan
kedudukan orang berdosa.
Abu manshur
Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand,
wilayah Trmsoxiana di Asia tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan.
Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar
pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam
bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-balakhi. Ia wafat pada
tahun 268 H. Al-maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah
tahun 232-274 / 847-861 M. Adapun doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi adalah
akal dan wahyu, perbuatan manusia, kekuasaan dn kehendak mutlak Tuhan, sifat
Tuhan, melihat Tuhan, kalam Tuhan, perbuatan manusia, pengutusan Rasul, dan
Pelaku Dosa Besar (Muntakib Al-Kabir).